Senin, 16 Mei 2011

CHANGE YOUR MIND

"masuk telinga kanan, keluar telinga kiri"
57 minutes ago

Create an Ad
Sponsored
Kompas.com
Portal berita terdepan & terpercaya di Indonesia. Klik www.kompas.com
Like · Ganz Pecandukata likes this.
Play Dragons of Atlantis!
Build a great and powerful city, raise an army and train mighty Dragons in the best new MMO on Facebook.
Tur CityVille!
Kunjungi CityVille, tempat tujuan terbaru dari Zynga, pembuat FarmVille. Kota impian Anda menanti. Mainlah sekarang!
Manjo Ayah played this.
Edit
"masuk telinga kanan, keluar telinga kiri"

Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Ungakapan ini mungkin sudah biasa kita dengar.

Biasanya, ditujukan bagi mereka yang susah untuk diberi peringatan.

Namun jika difikir-fikir, sebenarnya ungkapan ini tidak selalu negatif,

Asalkan kita tahu, dan bisa meletakkan diposisi yang tepat,

ungkapan ini akan memberikan efek luar biasa kepada diri kita.



Satu ketika, saya mendengar cerita adik ipar saya.

Ia baru tahun pertama kuliah dan sedang menikmati masa-masa indah ospek.



Bak kata Istri saya tercinta,

"Masa pembinaan (ospek) itu indah untuk dikenang, tidak ingin untuk diulang"



Ipar saya menggerutu tentang seniornya yang galak, berbicara tanpa ada rambu,

sumpah serapah tak tentu arah.



Difikiran saya, inilah saat yang tepat untuk

"Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri"

Andai kita masukkan juga perkataan 'keji' senior tersebut kedalam hati.

Sudahlah badan capek, hatipun tambah dongkol dan letih.



Hidup didunia sosial, sebagai makhluk yang tentunya sosial.

Memaksa kita, mau tidak mau, kita harus berhadapan dengan orang lain.

Terlebih lagi dorongan nafsu untuk bergosip tertanam ditiap individu,

seakan tak ada celah yang tidak bisa dikomentari. Inilah kenyataannya.



Ada kalanya, perkataan orang lain akan menginspirasikan kita.

Namun, perkataan yang menjatuhkan datang lebih banyak.

Terkadang, kemajuan kita terhambat karena ini.

Bahkan, kita sudah dihantui komen negatif, sesaat saja niat untuk bertindak muncul.

Padahal komen-komen itu belum pernah wujud.



Disinilah seharusnya "masuk telinga kanan, keluar telinga kiri" kita diterapkan.



Selama kuliah di Malaysia, saya mempunyai seorang teman yang (menurut saya)

mampu meletakkan "Masuk kiri keluar kanan" tepat pada tempatnya.

Sebut saja namanya Ismail S Wekke atau bang Mail :D



Mungkin bang Mail satu-satunya mahasiswa Indonesia yang bebas sesuka hati menelfon Naib Cancelor (rektor), SMS, keluar masuk ruangannya, berbalas email DLL. Beliau juga aktif keluar negeri, melanglang buana kesana kesini, dan beliau mampu menyelesaikan Program Doktoralnya tepat pada waktunya. Sekarang beliau aktif mengajar di Makasar dan Sorong, dan selalu diundang untuk memberikan seminar di dalam, bahkan luar negeri.



Padahal, saya tahu sekali, ramai yang mencemooh Beliau,tentang gayanya,

kegiatannya, kelayakan disertasinya, dan lain-lain.



Dari sini saya mengambil pelajaran,

menerapkan "Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri" dengan bijak,

akan memberikan manfaat yang luar biasa,

bagi ketenangan dan juga kesuksesan yang ingin kita raih.





Fazrol Rozi

Rabu, 11 Mei 2011

apresiet

KETIKA PUISI MENJELMA ANAK-ANAK ROHANI
Sekadar Cerita yang Mengantar
Antologi Puisi Keluarga “ suhufsuhuf kenangan “ by Muhammad Asqalani eNeSTe n adik-kakaknya
Oleh ; Eko Putra
(Penyair, facebooker)

PROLOG

Sesungguhnya. Saya tidak tahu, dari mana tulisan ini dapat dimulai. Terkait ketika Moh. Asqalani menghubungi saya untuk memberikan semacam pengantar untuk sebuah kumpulan puisi yang akan diterbitkan olehnya. Dirinya menghubungi saya melalui pesan singkat ke ponsel saya. Setelah saya sedikit merespon pesannya, dan bertanya kumpulan puisi siapa yang ia tawarkan. Dirinya berkata, bahwa kumpulan puisi tersebut adalah bunga rampai seluruh anggota keluarganya sekandung. Yang terdiri dari adik dan kakaknya sendiri. Karena terus terang, saya kadang cukup sibuk. Maka saya membalas pesannya, silakan kirim naskah yang dimaksud melalui alamat surat elektronik saya.

Singkatnya, saya lalu mengunduh draf yang dikirim oleh Asqalani dan menyimpannya ke dalam folder yang ada di laptop saya. Kemudian sebelum tidur. Satu dua tiga malam, saya membuka dokumen tersebut dan mencoba untuk memahaminya satu-persatu. Tetapi, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya terhadap Asqalani. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membuat sebuah telaah yang berangkat atas puisi-puisi yang termaktub di dalam kumpulan puisi ini. Namun, saya hanya ingin bercerita. Yah, sekadar bercerita, dan membiarkan hasil bacaan saya terhadap kumpulan puisi ini menjadi dokumentasi pribadi. Lalu barangkali di suatu waktu, di masa yang akan datang Asqalani dan adik serta kakaknya melakukan sebuah kinerja positif dalam dunia kepenulisannya. Yang terus membuat torehan sejarah tersendiri bagi mereka.

Saya sangat apreriori ketika Asqalani mengatakan bahwa mereka yang tergabung dalam antologi ini adalah orang-orang yang sekandung. Artinya secara geneologis mereka memiliki ikatan vertikal yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka. Sekelompok orang yang berada dalam sebuah keluarga menulis. Itulah faktanya. Hal ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Karena jarang sekali orang-orang yang berada dalam sebuah ikatan keluarga memiliki keinginan yang sama untuk melakukan sesuatu yang memiliki kesamaan. Mereka menggemari puisi. Sebuah jalan yang barangkali tidak begitu diminati oleh kebanyakan orang. Terlebihnya mereka yang menapaki masa remaja. Di dalam diri (soul) mereka muncul sebuah bibit langka. Yang dari setiap generasi, baik secara demografi, dekade, dan budaya, yang kadangkala dapat dihitung dengan jari kemunculannya.
***

KETIKA ROHANI GELISAH

Seperti yang telah saya ungkapkan pada bagian Prolog tulisan ini. Saya hanya ingin bercerita. Cerita ini, terus terang semua berangkat dari apa yang pernah saya alami. Yang bagi saya, kaitan atas kehadiran antologi ini merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi Asqalani dan adikkakaknya.

Saya sekarang berada di sebuah ruang dan perjalanan waktu. Ketika dulu, beberapa tahun lalu saya mulai terjangkiti sebuah virus yang mengakibatkan seluruh sistem kerja dalam diri saya tercemar olehnya. Virus tersebut benama puisi. Ia tiba-tiba hadir, tanpa pernah kompromi sebelumnya, berkaitan dengan aktivitas keseharian saya yang saat itu adalah seorang pelajar dan remaja polos. Ia membuat saya kesurupan. Lahir sebuah kegelisahan yang tidak menentu. Merangsek pola pemikiran yang konvensional bagi orang lain, yang terkadang cukup ekstrim. Tidak jarang pula, saya menjadi bahan guyonan bagi teman-teman. Tapi, saya sama sekali tidak mempedulikan apapun yang dibicarakan oleh orang lain ketika itu. Yang ada di benak saya adalah bergerak. Masa bodoh dengan hasil yang didapat. Saya yakin, itu terjadi pula pada Asqalani dan adikkakaknya. Virus puisi telah beranak pinak di seluruh lapis saraf, tulang, sendi, kelenjar, rasa, jiwa, dan nurani,….begitulah seterusnya.

Ada getaran-getaran aneh yang sesungguhnya terpendam di dalam diri (soul) mereka yang minta untuk dihadirkan. Ia berupa kata-kata, berupa gumam, berupa bunyi, berupa ketidaksadaran yang paling murni. Ia membawa banyak persoalan dari sesuatu yang sederhana, sampai hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh kadar kemanusiaan sekalipun dan atau sebaliknya. Hal seperti ini yang kemudian menjadi sebuah narasi panjang bagi pemilik sistemnya, yakni sang penyair.

Ketekunan penyair untuk terus melakukan kerja terhadap puisi akan menjadikan puisi secara utuh sebagai bagian dari hidupnya. Bagi saya itu merupakan pilihan, terlepas di tengah perjalanan kerja puisi yang dilakukan oleh seorang penyair. Apakah di tengah jalan tersebut banyak kendala. Karena banyak sekali yang menggoda dan penggoda yang begitu professional dalam ihwal goda-menggoda ini.

"Perjalanan puisi itu seperti seseorang menuju sebuah puncak bukit," ujar Wayan Sunarta, penyair dari Bali. Di tengah perjalanan ia akan menemukan banyak hal. Ada bunga-bunga indah yang mungkin menipu penglihatan, juga wanginya yang masuk ke penciuman. Ada suara gemirisik air dari kejauhan. Ada batu-batu licin yang siap membuat kita jatuh ke lembah jikalau lengah. Kadang ada desis kobra yang mengintai dari semak-semak. Adapula buah-buah segar yang membuatnya semakin dahaga dan lapar. Atau barangkali terkaman harimau sumatera yang dengan seketika membuat kalangkabut. Tapi setiap godaan, halangan, dan tantangan tersebut, tentu tidak sulit untuk dilewati. Karena Asqalani bergerak bersama seluruh keluarganya.

Saya percaya, mereka akan saling mengingatkan, saling menyelamatkan, saling menguatkan satu sama lain, saling menyokong, yang dapat membuat mereka sama-sama menapaki puncak bukit tersebut. Yang dengan leluasa bagi mereka dapat melihat segala yang terbentang. Namun, bagi seorang penyair sejati ia tidak akan pernah puisi ketika telah berada dipuncak. Sebab, ada yang belum ia capai seluruhnya. Di atas kepala sendiri, masih ada rahasia yang tidak akan tersentuh olehnya. Ia akan terus dihantui gelisah yang membuatnya untuk terus melakukan pendakian demi pendakian. Bahkan di puncak itulah ia dapat melihat dengan jelas apa-apa yang ada di kaki bukit, yang mestinya ia harus merabas jalan pulang, memperbaiki tanjakan, dan menjadi sahabat bagi hal-hal yang terhimpun di sekelilinggnya.

EPILOG

Di tengah kehadiran puisi yang begitu banyak saat ini, setidaknya itu yang saya amati. Apalagi media massa yang beragam, baik secara cetak maupun digital. Terutama pada era ini fitur-fitur media jaringan sosial yang berkembang menyediakan sarana untuk mempublikasikan sebuah tulisan apapun jenisnya, termasuk puisi. Saya menaruh banyak harapan bagi Asqalani dan adikkakaknya, dan mengutip larik puisi yang ditulis oleh Asqalani, dan kita mulai persemedian/ satu demi satu/ kau menyelam, //aku tenggelam/ semakin dalam//(adakah kunci hatiku jatuh ke globe hatimu?). Harapan yang saya taruh ini, bersifat sebuah ajakan untuk terus bergerak. Karena faktanya, usia Asqalani sendiri sedikit lebih tua dari saya sendiri. Selain masih ada kakaknya, yang barangkali pula usia adiknya masih sebaya dengan saya. Hal ini awalnya menjadi sebuah pertanyaan bagi saya. Mengapa Asqalani menghubungi saya, karena cukup realistis masih banyak mereka yang telah mumpuni dengan kematangannya untuk dimintanya sebuah partisipasi. Dengan rendah hati, saya mengatakan bahwa ini sebuah kehormatan tersendiri bagi saya.

Sejatinya pula, puisi tidak dapat menjanjikan materi yang membuat penyairnya untuk mengalami berkecukupan. Tetapi bagi saya, puisi merupakan obligasi jiwa yang mampu membuat penyairnya untuk menaklukkan hal-hal di sekelilingnya. Karena saya yakin, sugesti yang diberikan puisi. Merupakan mata rantai yang memberikan banyak kesempatan atas segala kebijaksanaan yang dihadirkan oleh setiap persoalan hidup. Puisi memang bersifat fiksi, tapi tidak berangkat dari khayalan semata.

Semoga cahaya selalu menyalakan jiwa kita.
***
Eko Putra, Kampung Keramat, akhir April 2011.

take an article

How I found my passion
In a series of posts, called readers choice, I write on whatever topics people submit and vote for. If you dig this idea, let me know if the comments, and submit your ideas and votes.
Travis submitted the following question, and with 30 votes it’s this week’s topic:
What specific, objective things can you do to find your “passion”? Assuming it’s possible to make a career out of pursuing your passion(s), how do you narrow that down to one or a few things?
This is a great, but strange question. I don’t think there is a way to do this. If there is I don’t know it. Most people seem passionless about their work, much less their lives, don’t you think?
Looking backwards I see I tried different things. Over the course of my life I’ve tried to spend more time doing things I liked. The magical part is twice I’ve managed to find ways making a living doing something I’m passionate about (first with software, now with writing).
My first deep love was baseball. But by age 10 I discovered basketball, and loved that more (much less standing around waiting). It was the defining passion of my life until I was 19. Why basketball? I was athletic, I was competitive, I was better than my friends, and I discovered for the first time that hard work paid off – basketball provided an endless (at the time) path of improvement if I worked hard. But had my brother never made me play basketball at age 8, I never would have discovered this thing I love(d).
I started writing in junior year in high school. We had a poetry month in English class and I wrote poetry. Turned out I loved writing it – some of it didn’t suck. And I kept writing it on my own, after the class ended. Freshman year in college we had to keep a journal for a Philosophy course, so I did that, and by the end of the course I enjoyed it enough I’ve kept it up since. These two experiences were pivotal in me becoming a writer. Had I not been exposed twice, I probably would not be writing this right now.
My story with software is simpler. I was smart. My dad got us a computer when I was 12 or 13. I liked it and it made sense to me so when not playing basketball, I was on it hours every day. I majored in Computer Science because I found it interesting and it made sense. I liked designing things, and got very lucky – I got hired at Microsoft to lead teams and design stuff. Managed to get on the IE 1.0 team, which turned out to be kind of important. I was passionate about it because it was fascinating, I was young and had power, it was thrilling to feel smart with other smart people, and I convinced myself it mattered to the world. But after a decade those passions changed, or changed shape, so I left.
I’ve never believed in the idea of a calling. I really hate that idea. Most people can be good at many different things, and live happy lives in many different ways. If you want to find your passion I’d say put yourself in different situations, with different people, and see how it makes you feel. Pay attention to you and write down your responses so you’ll remember. Some of it will bore you. Some of it you’ll hate. But with each experience you’ll have a clearer sense of who you actually are ,what you actually care about, and what you’re good at doing.
There are at least four piles of things in the world for you:
• Things you like/love
• Things you are good at
• Things you can be paid to do
• Things that are important
But only you can sort out which things go in which piles, or hopefully, all four piles.
I think growing up we’re fed so many stories about what we’re supposed to like, or enjoy, or find pleasure in, and only some of that turns out to be true. It’s implied you need a great career to be happy, but honestly most people seem pretty damn miserable, including those with fancy careers. You can’t be passionate if you’re living your parents dream and not your own, and unless you go out on your own for awhile, you are likely trying to live someone else’s dream.
My advice is simple: Pick something. Do it with all your heart. If you can’t keep your heart in it, do something else. Repeat. Few people have the courage to do this, even for a year, much less a lifetime. But my suspicion is if you ask passionate people how they make choices, this is what you’ll hear.

Selasa, 10 Mei 2011

sabili

sembahyang

tegakku,
berderak

rukukku,
terpuruk

i’tidalku,
terjungkal

sujudku,
tersangkut

salamku,
tenggelam

Rabb, ajari aku sembahyang seluruh tubuh
sedari awal

sebuah cerpen

KAMARKU BERANTAKAN

Apa yang kamu rasakan saat menemukan kepengapan, udara tak segar dan aroma keamisan? Begitulah barangkali cuplikan kamar hantu. Kamarku.
oleh Muhammad Asqalani eNeSTe

Entah ini penyakit, entah ketutrunan, entah kebiasaan. Entahlah. Yang jelas sejak aku resmi hidup sendiri, ngekos, aku berkecimpung tidur ria setiap malam di lesehan kamar berantakan.
Entah kenapa aku suka melihat benda-benda bergelimpangan urak-urakan. Buku terbuka, tas menganga, kain menumpuk, kaleng parfum melantai, piring kotor berjejal, kerdus berjumpalitan, air besepai, tentu saja kerumunan debu-debu beterbangan. Aku suka semua ini. Bagiku mereka artefak, tanda gemericik sungai seni mengalir dalam darahku. Benarkah ini seni? Setidaknya begitulah refleksi kacamataku.
“Apaan sih kamu Sen, di luar gaya kamu sok gaul, di dalam alamakjang, gelandangan….” Ceramah temanku Gion yang bercita-cita jadi dokter. Penampilannya selalu CLING, bersih bening seperti tanpa kaca.
“Sudah deh ion, kamu tuh gak ngerti seni, aku jelasin pun bakal percuma,” ucapku membela. Ya, inilah gaya hidupku. Aku suka gayaku.
“Kamu emang paling pandel dikasih tahu, keras kepala. Kalau sakit siapa yang rugi?” Gion sok penertian.
“Yang rugi aku, ngapa kamu rese…urus tuh tipusmu! BeTe aku….” Cecarku pedas. Dia ter pojok. Tersinggung, dadanya naik turun. Apa peduliku?

***
“Assalamu ‘alaikum!” suara salam bergema tiga kali, bersamaan suara pintu yang diketuk.
“Masuk! Gak dikunci….” Sahutku sembari memperdalam surukan ke dalam selimut kumal, kalau tak salah lebih sebulan selimut itu tak menyentuh air.
“Astaga Sen, jam sepuluh gini kamu masih kemuk-kemuk di kasur? Keterlaluan!” ujar kakak kandungkua, Tina. Tak habis pikir lihat kemalasanku.
“siapa suruh kakak datang pagi-pagi dari kampung? Hujan gini enaknnya tidur, tahu!” aku sebel, masih dalam ceruk selimut.
Dengan emosi kak Tina paksa selimutku., dengan susah payah dia berhasil juga. Selimut kumal itu kak Tina lemparkan ke tanah depah teras yang tampak becek diguyur hujan semalaman.
“ nih, rasain….biar kamu ngerti makna mencuci adalah kebersihan, supaya kamu paham bahwa kita harus kejam terhadap kemalasan” kak Tina tampak gusar, gayanya menasihati. Dia benar.
“sekejam ini, iya?....KELUARRR….KELUARRR…” usirku

***

Pada jam istirahat aku langsung menarik tangan Gion.
“Ayo, main ke kosku! Jadi orang kok susah amat sih?” paksaku. mulut dimonyongkan.
“Iya…, lepasin dong ah!’ Gion manut
Sekitar dua menit kami sampai di kosanku yang teramat luas. Kamar-kamar berjejer menyerupaiasrama. Ya, dulu ini memang asrama, tapi tak tentu pasal di sulaplah jadi kos-kosan. Aku terdata sebagai salah seorang penghuninya.
“Ini kos-kosan atau kios pasar loak?” tanya Gion nyantai. Tanpa beban.
“kandang kambing!” jawabku, kami paduan tertawa.
Ketika kubuka pintu terkuaklah nasi basi, tempe belatungan, piring kotor berangkringan, dari lemari yang terbuka kecoa berhamburan, tentu juga kepungan debu-debu.
“Wuekkk….aku gak tahan, nih kamar mirip kamar hantu. Bau bangkai. Wuekkk….” Supah Gion muntah, banyak banget. Gion berlari ke arah motornya, kemudian tancap gas.
“Heh, sok bersih deh loe, kosan loe juga sarang ular, sarang tawon, sarang hantu,sarang….Halah, sok kaya deh loe. Emang rumah loe istana? Selokan kaleee!”

***

“ Sen, baju kamu kenapa? “ Tanya bu Tuti.
“Kenapa? Keren ya, bu?” aku berlagak.
“Pliss deh youw! Kamu memang keren. Tapi kenapa baju kamu karatan? Berdaki, m-mirip….” Bu Tuti tak melanjutkan.
“Mirip gelandangan kuadrat,bu! Ibu tahu tak siapa nama asli Sen? “SENDAWA PINGIT DARI LOBANG SAMPAH, hahaha…..” semua tertawa, tampak bu Tuti berurai airmata sambil memegang perutnya yang tampak bergetar. Katro dan Ndeso sampai terkencing-kencing.
“DIAAAMM….”

***

Aduh gawaaa…..t! teman-teman bersama Bu Tuti dari SMPN 5 PINGGIRAN berbondong-bondong datang ke kosku. Habislah terbongkar setiap rinci kejorokanku. Kamarku berantakan, seperti kamar hantu; berbau, pengap dan mengerikan. Kecoa-kecoa menghiasi dinding. Oh ya, masalah kenapa teman-temanku datang ke kosku mendadak seperti orang razia, karena aku sudah tiga hari tergeletak lemah. Sakit parah. Hampir mati malah.
Mereka buru-buru membawaku ke Puskesmas yang ada di desa sebelah ”KAMPOENG KOLOT”, begitu namanya.
Ketika aku sudah terhempas ke matras pasien, teman-teman mengelilingiku; ada Gion, Sutini, Paijo, Painem, Katro, Ndeso, dll.. masing-masing mereka membawa buah, ada pisang batu, jambu monyet, rambutan hutan, kelubi asam, juga motton ( nama buah dihutan yang bulat kira-kira sebesar merica; buah ini biasa kami panjat di belakang rumah Paijo ).

”Minggir anak-anak, saatnya kita periksa teman kalian yang malang ini,” kata perawat tua, Pak Getol.
” Puuu....t” tiba-tiba sesuatu berbunyi persis dari knalpot tubuh Pak Getol.
”hhhh....bau!” anak-anak serempak menutup hidung, Bu Tuti megap-megap.
Dengan wajah merah mananggung malu, dengan suara gemetaran Pak Getol bertanya.
”Penyakitmu parah dah mau mati gini, apa penyebabnya?”
”a-a-anu pak, k-k-kamarku berantakan!” jawabku dengan wajah merah juga menanggung malu. Semua kening tampak berkerut seribu.
”????....”

****

Minggu, 08 Mei 2011

kompaskan puisi

di jiwa

dengan sekuat daya
tarik menarik jiwa dan raga
pertengkaran pelita dan gelita
betapa runyam
gelombang dada timbul-tenggelam


salju nadi

yang mengorbit lintasan nadi
matahari menghilang tak kembali
musim dingin
sungguh dingin
diam berkeping menyerupai dasar hening