KETIKA PUISI MENJELMA ANAK-ANAK ROHANI
Sekadar Cerita yang Mengantar
Antologi Puisi Keluarga “ suhufsuhuf kenangan “ by Muhammad Asqalani eNeSTe n adik-kakaknya
Oleh ; Eko Putra
(Penyair, facebooker)
PROLOG
Sesungguhnya. Saya tidak tahu, dari mana tulisan ini dapat dimulai. Terkait ketika Moh. Asqalani menghubungi saya untuk memberikan semacam pengantar untuk sebuah kumpulan puisi yang akan diterbitkan olehnya. Dirinya menghubungi saya melalui pesan singkat ke ponsel saya. Setelah saya sedikit merespon pesannya, dan bertanya kumpulan puisi siapa yang ia tawarkan. Dirinya berkata, bahwa kumpulan puisi tersebut adalah bunga rampai seluruh anggota keluarganya sekandung. Yang terdiri dari adik dan kakaknya sendiri. Karena terus terang, saya kadang cukup sibuk. Maka saya membalas pesannya, silakan kirim naskah yang dimaksud melalui alamat surat elektronik saya.
Singkatnya, saya lalu mengunduh draf yang dikirim oleh Asqalani dan menyimpannya ke dalam folder yang ada di laptop saya. Kemudian sebelum tidur. Satu dua tiga malam, saya membuka dokumen tersebut dan mencoba untuk memahaminya satu-persatu. Tetapi, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya terhadap Asqalani. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membuat sebuah telaah yang berangkat atas puisi-puisi yang termaktub di dalam kumpulan puisi ini. Namun, saya hanya ingin bercerita. Yah, sekadar bercerita, dan membiarkan hasil bacaan saya terhadap kumpulan puisi ini menjadi dokumentasi pribadi. Lalu barangkali di suatu waktu, di masa yang akan datang Asqalani dan adik serta kakaknya melakukan sebuah kinerja positif dalam dunia kepenulisannya. Yang terus membuat torehan sejarah tersendiri bagi mereka.
Saya sangat apreriori ketika Asqalani mengatakan bahwa mereka yang tergabung dalam antologi ini adalah orang-orang yang sekandung. Artinya secara geneologis mereka memiliki ikatan vertikal yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka. Sekelompok orang yang berada dalam sebuah keluarga menulis. Itulah faktanya. Hal ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Karena jarang sekali orang-orang yang berada dalam sebuah ikatan keluarga memiliki keinginan yang sama untuk melakukan sesuatu yang memiliki kesamaan. Mereka menggemari puisi. Sebuah jalan yang barangkali tidak begitu diminati oleh kebanyakan orang. Terlebihnya mereka yang menapaki masa remaja. Di dalam diri (soul) mereka muncul sebuah bibit langka. Yang dari setiap generasi, baik secara demografi, dekade, dan budaya, yang kadangkala dapat dihitung dengan jari kemunculannya.
***
KETIKA ROHANI GELISAH
Seperti yang telah saya ungkapkan pada bagian Prolog tulisan ini. Saya hanya ingin bercerita. Cerita ini, terus terang semua berangkat dari apa yang pernah saya alami. Yang bagi saya, kaitan atas kehadiran antologi ini merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi Asqalani dan adikkakaknya.
Saya sekarang berada di sebuah ruang dan perjalanan waktu. Ketika dulu, beberapa tahun lalu saya mulai terjangkiti sebuah virus yang mengakibatkan seluruh sistem kerja dalam diri saya tercemar olehnya. Virus tersebut benama puisi. Ia tiba-tiba hadir, tanpa pernah kompromi sebelumnya, berkaitan dengan aktivitas keseharian saya yang saat itu adalah seorang pelajar dan remaja polos. Ia membuat saya kesurupan. Lahir sebuah kegelisahan yang tidak menentu. Merangsek pola pemikiran yang konvensional bagi orang lain, yang terkadang cukup ekstrim. Tidak jarang pula, saya menjadi bahan guyonan bagi teman-teman. Tapi, saya sama sekali tidak mempedulikan apapun yang dibicarakan oleh orang lain ketika itu. Yang ada di benak saya adalah bergerak. Masa bodoh dengan hasil yang didapat. Saya yakin, itu terjadi pula pada Asqalani dan adikkakaknya. Virus puisi telah beranak pinak di seluruh lapis saraf, tulang, sendi, kelenjar, rasa, jiwa, dan nurani,….begitulah seterusnya.
Ada getaran-getaran aneh yang sesungguhnya terpendam di dalam diri (soul) mereka yang minta untuk dihadirkan. Ia berupa kata-kata, berupa gumam, berupa bunyi, berupa ketidaksadaran yang paling murni. Ia membawa banyak persoalan dari sesuatu yang sederhana, sampai hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh kadar kemanusiaan sekalipun dan atau sebaliknya. Hal seperti ini yang kemudian menjadi sebuah narasi panjang bagi pemilik sistemnya, yakni sang penyair.
Ketekunan penyair untuk terus melakukan kerja terhadap puisi akan menjadikan puisi secara utuh sebagai bagian dari hidupnya. Bagi saya itu merupakan pilihan, terlepas di tengah perjalanan kerja puisi yang dilakukan oleh seorang penyair. Apakah di tengah jalan tersebut banyak kendala. Karena banyak sekali yang menggoda dan penggoda yang begitu professional dalam ihwal goda-menggoda ini.
"Perjalanan puisi itu seperti seseorang menuju sebuah puncak bukit," ujar Wayan Sunarta, penyair dari Bali. Di tengah perjalanan ia akan menemukan banyak hal. Ada bunga-bunga indah yang mungkin menipu penglihatan, juga wanginya yang masuk ke penciuman. Ada suara gemirisik air dari kejauhan. Ada batu-batu licin yang siap membuat kita jatuh ke lembah jikalau lengah. Kadang ada desis kobra yang mengintai dari semak-semak. Adapula buah-buah segar yang membuatnya semakin dahaga dan lapar. Atau barangkali terkaman harimau sumatera yang dengan seketika membuat kalangkabut. Tapi setiap godaan, halangan, dan tantangan tersebut, tentu tidak sulit untuk dilewati. Karena Asqalani bergerak bersama seluruh keluarganya.
Saya percaya, mereka akan saling mengingatkan, saling menyelamatkan, saling menguatkan satu sama lain, saling menyokong, yang dapat membuat mereka sama-sama menapaki puncak bukit tersebut. Yang dengan leluasa bagi mereka dapat melihat segala yang terbentang. Namun, bagi seorang penyair sejati ia tidak akan pernah puisi ketika telah berada dipuncak. Sebab, ada yang belum ia capai seluruhnya. Di atas kepala sendiri, masih ada rahasia yang tidak akan tersentuh olehnya. Ia akan terus dihantui gelisah yang membuatnya untuk terus melakukan pendakian demi pendakian. Bahkan di puncak itulah ia dapat melihat dengan jelas apa-apa yang ada di kaki bukit, yang mestinya ia harus merabas jalan pulang, memperbaiki tanjakan, dan menjadi sahabat bagi hal-hal yang terhimpun di sekelilinggnya.
EPILOG
Di tengah kehadiran puisi yang begitu banyak saat ini, setidaknya itu yang saya amati. Apalagi media massa yang beragam, baik secara cetak maupun digital. Terutama pada era ini fitur-fitur media jaringan sosial yang berkembang menyediakan sarana untuk mempublikasikan sebuah tulisan apapun jenisnya, termasuk puisi. Saya menaruh banyak harapan bagi Asqalani dan adikkakaknya, dan mengutip larik puisi yang ditulis oleh Asqalani, dan kita mulai persemedian/ satu demi satu/ kau menyelam, //aku tenggelam/ semakin dalam//(adakah kunci hatiku jatuh ke globe hatimu?). Harapan yang saya taruh ini, bersifat sebuah ajakan untuk terus bergerak. Karena faktanya, usia Asqalani sendiri sedikit lebih tua dari saya sendiri. Selain masih ada kakaknya, yang barangkali pula usia adiknya masih sebaya dengan saya. Hal ini awalnya menjadi sebuah pertanyaan bagi saya. Mengapa Asqalani menghubungi saya, karena cukup realistis masih banyak mereka yang telah mumpuni dengan kematangannya untuk dimintanya sebuah partisipasi. Dengan rendah hati, saya mengatakan bahwa ini sebuah kehormatan tersendiri bagi saya.
Sejatinya pula, puisi tidak dapat menjanjikan materi yang membuat penyairnya untuk mengalami berkecukupan. Tetapi bagi saya, puisi merupakan obligasi jiwa yang mampu membuat penyairnya untuk menaklukkan hal-hal di sekelilingnya. Karena saya yakin, sugesti yang diberikan puisi. Merupakan mata rantai yang memberikan banyak kesempatan atas segala kebijaksanaan yang dihadirkan oleh setiap persoalan hidup. Puisi memang bersifat fiksi, tapi tidak berangkat dari khayalan semata.
Semoga cahaya selalu menyalakan jiwa kita.
***
Eko Putra, Kampung Keramat, akhir April 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar