Selasa, 10 Mei 2011

sebuah cerpen

KAMARKU BERANTAKAN

Apa yang kamu rasakan saat menemukan kepengapan, udara tak segar dan aroma keamisan? Begitulah barangkali cuplikan kamar hantu. Kamarku.
oleh Muhammad Asqalani eNeSTe

Entah ini penyakit, entah ketutrunan, entah kebiasaan. Entahlah. Yang jelas sejak aku resmi hidup sendiri, ngekos, aku berkecimpung tidur ria setiap malam di lesehan kamar berantakan.
Entah kenapa aku suka melihat benda-benda bergelimpangan urak-urakan. Buku terbuka, tas menganga, kain menumpuk, kaleng parfum melantai, piring kotor berjejal, kerdus berjumpalitan, air besepai, tentu saja kerumunan debu-debu beterbangan. Aku suka semua ini. Bagiku mereka artefak, tanda gemericik sungai seni mengalir dalam darahku. Benarkah ini seni? Setidaknya begitulah refleksi kacamataku.
“Apaan sih kamu Sen, di luar gaya kamu sok gaul, di dalam alamakjang, gelandangan….” Ceramah temanku Gion yang bercita-cita jadi dokter. Penampilannya selalu CLING, bersih bening seperti tanpa kaca.
“Sudah deh ion, kamu tuh gak ngerti seni, aku jelasin pun bakal percuma,” ucapku membela. Ya, inilah gaya hidupku. Aku suka gayaku.
“Kamu emang paling pandel dikasih tahu, keras kepala. Kalau sakit siapa yang rugi?” Gion sok penertian.
“Yang rugi aku, ngapa kamu rese…urus tuh tipusmu! BeTe aku….” Cecarku pedas. Dia ter pojok. Tersinggung, dadanya naik turun. Apa peduliku?

***
“Assalamu ‘alaikum!” suara salam bergema tiga kali, bersamaan suara pintu yang diketuk.
“Masuk! Gak dikunci….” Sahutku sembari memperdalam surukan ke dalam selimut kumal, kalau tak salah lebih sebulan selimut itu tak menyentuh air.
“Astaga Sen, jam sepuluh gini kamu masih kemuk-kemuk di kasur? Keterlaluan!” ujar kakak kandungkua, Tina. Tak habis pikir lihat kemalasanku.
“siapa suruh kakak datang pagi-pagi dari kampung? Hujan gini enaknnya tidur, tahu!” aku sebel, masih dalam ceruk selimut.
Dengan emosi kak Tina paksa selimutku., dengan susah payah dia berhasil juga. Selimut kumal itu kak Tina lemparkan ke tanah depah teras yang tampak becek diguyur hujan semalaman.
“ nih, rasain….biar kamu ngerti makna mencuci adalah kebersihan, supaya kamu paham bahwa kita harus kejam terhadap kemalasan” kak Tina tampak gusar, gayanya menasihati. Dia benar.
“sekejam ini, iya?....KELUARRR….KELUARRR…” usirku

***

Pada jam istirahat aku langsung menarik tangan Gion.
“Ayo, main ke kosku! Jadi orang kok susah amat sih?” paksaku. mulut dimonyongkan.
“Iya…, lepasin dong ah!’ Gion manut
Sekitar dua menit kami sampai di kosanku yang teramat luas. Kamar-kamar berjejer menyerupaiasrama. Ya, dulu ini memang asrama, tapi tak tentu pasal di sulaplah jadi kos-kosan. Aku terdata sebagai salah seorang penghuninya.
“Ini kos-kosan atau kios pasar loak?” tanya Gion nyantai. Tanpa beban.
“kandang kambing!” jawabku, kami paduan tertawa.
Ketika kubuka pintu terkuaklah nasi basi, tempe belatungan, piring kotor berangkringan, dari lemari yang terbuka kecoa berhamburan, tentu juga kepungan debu-debu.
“Wuekkk….aku gak tahan, nih kamar mirip kamar hantu. Bau bangkai. Wuekkk….” Supah Gion muntah, banyak banget. Gion berlari ke arah motornya, kemudian tancap gas.
“Heh, sok bersih deh loe, kosan loe juga sarang ular, sarang tawon, sarang hantu,sarang….Halah, sok kaya deh loe. Emang rumah loe istana? Selokan kaleee!”

***

“ Sen, baju kamu kenapa? “ Tanya bu Tuti.
“Kenapa? Keren ya, bu?” aku berlagak.
“Pliss deh youw! Kamu memang keren. Tapi kenapa baju kamu karatan? Berdaki, m-mirip….” Bu Tuti tak melanjutkan.
“Mirip gelandangan kuadrat,bu! Ibu tahu tak siapa nama asli Sen? “SENDAWA PINGIT DARI LOBANG SAMPAH, hahaha…..” semua tertawa, tampak bu Tuti berurai airmata sambil memegang perutnya yang tampak bergetar. Katro dan Ndeso sampai terkencing-kencing.
“DIAAAMM….”

***

Aduh gawaaa…..t! teman-teman bersama Bu Tuti dari SMPN 5 PINGGIRAN berbondong-bondong datang ke kosku. Habislah terbongkar setiap rinci kejorokanku. Kamarku berantakan, seperti kamar hantu; berbau, pengap dan mengerikan. Kecoa-kecoa menghiasi dinding. Oh ya, masalah kenapa teman-temanku datang ke kosku mendadak seperti orang razia, karena aku sudah tiga hari tergeletak lemah. Sakit parah. Hampir mati malah.
Mereka buru-buru membawaku ke Puskesmas yang ada di desa sebelah ”KAMPOENG KOLOT”, begitu namanya.
Ketika aku sudah terhempas ke matras pasien, teman-teman mengelilingiku; ada Gion, Sutini, Paijo, Painem, Katro, Ndeso, dll.. masing-masing mereka membawa buah, ada pisang batu, jambu monyet, rambutan hutan, kelubi asam, juga motton ( nama buah dihutan yang bulat kira-kira sebesar merica; buah ini biasa kami panjat di belakang rumah Paijo ).

”Minggir anak-anak, saatnya kita periksa teman kalian yang malang ini,” kata perawat tua, Pak Getol.
” Puuu....t” tiba-tiba sesuatu berbunyi persis dari knalpot tubuh Pak Getol.
”hhhh....bau!” anak-anak serempak menutup hidung, Bu Tuti megap-megap.
Dengan wajah merah mananggung malu, dengan suara gemetaran Pak Getol bertanya.
”Penyakitmu parah dah mau mati gini, apa penyebabnya?”
”a-a-anu pak, k-k-kamarku berantakan!” jawabku dengan wajah merah juga menanggung malu. Semua kening tampak berkerut seribu.
”????....”

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar