cerpen absurd tentang mimpi gentayang di Metro Riau

DAN ZADRA

Dan Zadra akan menerbangkan mimpiku hingga ribuan mil dengan farmasi sempurna

Oleh : Muhammad asqalani eNeSTe

“ (semua harapan dan cita-cita adalah absah, semua mencoba membawamu terbang, melampaui awan, mengatasi badai. Itu kalau kamu membebaskannya) ah, anakku ! betapa bijak kata-katamu itu hingga dalam kondisi selemah ini ibu masih berani bermimpi. Membawamu terbang hingga ke relung-relung taman nirwana, memetik bunga kenanga berwarna jingga, meniti warna pelangi yang ke delapan, kamu tahu warna apa Danku? Itulah putih. Putih yang ibu coba sarangkan di hati” aku tersenyum. Senyuman paling menawan.
“ Kalau saja ayahmu adalah kuda semberani yang bijaksana dan gagah, kalau saja ayahmu adalah matahari yang mampu menekuk bulan, kalau saja…, hhh! Tapi ayahmu adalah bajingan. Pengecut piaraan. Lelaki mati fungsi.” Kembali aku tersenyum.sinis.
“ Labbaika! Ini aku Layton. Suamimu. Ayah Dan! “ Layton merengkuh tubuhku. Keningku dia kecup beberapa kali.
“ Labbaika, bangunlah! Lihat Dan Zadra, pangeran kecil kita yang tampan. Setampan ayahnya. Sewangi ibunya,” bibir Layton menyentuh lembut telinga kiriku. Sebuah gaung terbantun-bantun. Penuh getar.
“ Layton, lepaskan aku! Lepaskan!. “
“ Tidak Labbaika. Tak akan aku melepasmu, ” Layton kian mempererat rengkuhannya.
1-2 dan beberapa air sejuk terjun membasahi rambut ubun-ubunku. Tanpa mendongak ke atas pun aku yakin Layton menangis deras. Tangisan seorang ibu dalam tubuh seorang ayah. Dan aku harus menangis lebih deras. Lebih keras.
“Aaaa….”

***

“ Labbaika, kamu harus menjadi mutiara, yang terus terpajang di kaki-kaki kehidupan. Kamu harus mengumpulkan super power untuk menghancurkan mendung yang bergelayut di hatimu. juga kabut di iris matamu. Demi Layton. Demi Dan. Kamu pasti bisa Labbaika! “
Kata-kata Layton seperti sihir yang mampu menyadarkan aku, bahwa beberapa jam yang lalu aku sudah disini. Di depan cermin.
“ Layton lelaki tengik! Belum puaskah kau mengacak kecantikanku? Belum puskah kau melantakkan bingkai bibirku? Belum puaskah kau mematahkan kekuatan jemariku? Atau kau ingin lagi merebut satu dari tujh alis kebanggaanku? KatakanLaytoooon!”
Aku meracau balau, lalu hening. Kemudian….
“ Dan, tunggu ibu nak, ibu tinggal mengenakan gaun putih sewarna ilalang. Beberapa detik menjahit sayap Ikarusku yang masih rumpang. Dan kita akan kembali ke relung-relung taman nirwana. Menetap disana. Hanya kita berdua. Tanpa ayahmu sang luar binasa, Layton! Hahaha….! “
“ audzubillahi minassyaithonirrojiim…, Labbaika! “ suara Layton bergetar dan membahana.
Cermin yang kupegang jatuh. Pecah. Tubuhku dingin bersamaan lamat - lamat angin yang keluar dari tubuhku. Aku lemah. Layton terburu nafas mendekapku.

***

“ Dan, kita akan terbang nak! Sesudah ibu memetik melati tidur tujuh hari. Untuk kita tabur sebagai pewangi. Bersama angin aroma kita akan bercerita pada ayahmu, bahwa kita hampir mendekati taman nirwana “ Aku seolah membelai Dan. Semu.
Aku merasakan panas mendadak. Aku terbelalak dan bangkit serentak.
“ Layton, dimana Dan? Dimana Dan? Kenapa tiba-tiba aku di kamar kematian ini. Aku masih ingin bermain ria bersama Dan di relung-relung taman nirwana “ aku tercubit oleh kenyataan.
“ Astagfirullahal adziim…, Labbaika! Sesuatu yang telah pergi tak mungkin kembali. Berhentilah menangisi! ikhlashkanlah takdir ini ! “
Detik kemudian hanya diam. Turunnya malam kali ini terasa mencekam. Angin kian bersileweran berantakan. Lampu rumah sakit mendadak padam.

***

Layton menggenggam tanah kuning. Air mata beningnya beradu deras dengan hujan yang runtuh. Kepedihannya sedikit terbasuh. Surat yasinnya jatuh bergumang tanah, ia membiarkannya. Pikirannya tertumpuk pada awal mengenalku. Menikahiku. Hingga 5 tahun kemudian rahimku tak juga mengandung sang jabang. Hingga obsesiku tuk mendambakan pengeran kecil bernama Dan mengantarkan otakku diatas normal. Layton tetap setia meluahkan kasihnya hinnga aku benar-benar tiada
Seorang laki-laki setia mengiring doa dari dalam jiwanya. Bergegas mengemas cacatan luka. meninggalkan senja yang telah tiada. Matanya menatap cahaya di kejauhan.

***

Agustus-November 2010
Paringgonan-Pekanbaru
Dari sebuah efek Baca

*Cerpen ini saya dedikasikan bagi
orang-orang yang tak takut bermimpi