Sabtu, 13 Agustus 2011

Melayari Imajinasi dengan Sampan Zulaiha 􀂄 Muhammad Anhar

MEMBICARAKAN cerita pendek
(cerpen) khususnya di ranah
Sumatera Utara (Sumut), rasanya
hambar jika tidak mengapungkan
nama Hasan Al Banna, sastrawan
muda yang dikenal khalayak lewat
cerpen-cerpen yang diramunya.
Memang, cukup lama digaungkan
banyak orang, kapan Hasan Al
Banna menelurkan bukunya sendiri
– selama ini berbentuk antologi.
Maka, tidak berlebihan jika
diujar, buku kumpulan cerpen-nya
Sampan Zulaiha, selain sebagai
rekam jejak beliau juga penandas
dahaga tanya para pembaca yang
kerap menggedornya.
Melihat sepak terjangnya menulis
sastra, Hasan Al Banna patut
menjadi salah satu “sumber mata
air” bagi sastrawan muda untuk
belajar berproses dan menimba
pengetahuan.
Dalam Sampan Zulaiha, disaji 14
cerita pendek yang sarat akan
lokalitas. Hampir semuanya telah
dimuat di media, baik lokal maupun
nasional, cetak maupun online.
Setiap cerita menyajikan suspense
tersendiri.
Pemikiran pengarang tertuang
apik lewat cerita-cerita yang kontras
dengan sudut pandang awam.
Kerap, saat membaca, ditemukan
sisi ”relatif ” dari sebuah pemahaman
kata ”baik” dan ”buruk.” Tentu
tidak menggurui dan ini laiknya
gula yang larut dalam seduhan air
teh. Terasa tapi tak terlihat kasat
mata.
Cerita dalam buku ini dimulai
dari kisah “Rumah Amangboru.”
Penulis merekam dan masuk ke
ranah psikologis seorang Haji
Sudung. Potret hidup modernis
yang kerap menenggelamkan sisi
humanis dan ketimuran terikat
kuat dalam cerita ini.
Di lembar lain, muncul “Pasar
Jongjong.” Sebuah cerita menggelitik
ego perkotaan. Betapa tidak?
Kesederhanaan nyatanya lebih
layak ditegakkan melebihi konsep
urbanis yang mau tak mau akan
mengantarkan pola hidup manusia
bermuara pada konsep individualis.
Dalam kisah ini, pengarang
mengaduk-aduk perasaan pembaca.
Bisa saja akan menerbitkan
air mata usai membaca kisah ini.
Haru, cemas, marah, sedih, membaur
di hati pembaca.
Berikutnya, ada “Sampan Zuleha”
yang dijadikan judul kumpulan
cerpen ini. Sebuah cerita miris.
Gambaran getir dan realis kehidupan
masyarakat marginal, masih
ada sisa penjajahan, yakni pembedaan
gender.
Zulaiha, sosok anak gadis cacat
fisik – tapi tidak secara psikis,
setidaknya ini yang digambarkan
pengarang – dari seorang nelayan
tua. Impiannya sederhana, hanyalah
bisa melaut. Ah, betapa sulit
menunaikan niat hatinya. Meski
berakhir tragis, toh pengarang tak
lupa menyisipkan pesan moral di
tiap lembar ceritanya.
Cerecau “Ompu Gabe” hadir di
halaman lain. Seperti judulnya,
cerita ini berkisah tentang ocehan
seorang lelaki tua. Menarik! Pengarang
mengangkat setting dan properti
Batak Simalungun. Lihatlah,
ujar yang begitu ramah di telinga,
becak siantar – yang BSA itu, lapo
tuak – yang memang banyak terpajang
di semerata pinggir jalan, juga
opera batak yang kian jarang dipertunjukkan,
semua terselip dengan
rapi. Kerinduan yang diusung
Ompu Gabe pada seseorang nyatanya
berakhir pada pengharapan
yang kandas.
Selain cerita-cerita di atas, masih
ada sekerumun cerita lainnya,
semisal: “Hanya Angin yang Terpahat
di Rahang Pintu,” “15 Hari
Bulan,” “Gokma,” “Parompa Sadun,”
Ijazah,” “Rabiah,” “Kurik,”
“Pertikaian Siasat,” dan “Horja.”
Kesemua cerita mengalirkan
beragam alur dan kenikmatan
tersendiri, diolah dengan ramuan
kata yang kerap meletikkan imajinasi
pembacanya. Membaca seluruh
cerita dalam buku ini, pikiran
seolah terkayuh menaiki sampan,
berkecipak membelah sungai imajinasi
yang teramu oleh diksi yang
memukau.
Menandaskan buku ini juga
mengajak pembaca sadar atau
tidak untuk menambah perbendaharaan
kata lantas bermuara pada
keinginan membuka dan lebih
akrab lagi dengan Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan menemukan
kata-kata yang jarang direguk mata
sebagian kita.
Melihat sekilas ilustrasi sampul
Sampan Zuleha, ada aroma
romantis mengembang. Hasil dari
tatanan koral, kerang dan pasir
pantai begitu manis untuk jadi
sebuah judul buku – sekilas terlihat
feminim.
Nah, ini jadi masalah. Jika ditelusur
ke karya yang dimuat di dalamnya,
praktis kurang ada pertautan
antara keseluruhan cerita
dengan tema sampul. Satu hal lagi,
buku ini tidak masuk ke toko buku
terkemuka di Indonesia, semacam
Gramedia. Terlepas dari itu, secara
konten, buku ini merupakan satu
dari beberapa sejarah khasanah
sastra Indonesia.
Selamat melayarkan imajinasi
Anda. 􀁺

1 komentar: