Sabtu, 13 Agustus 2011

Melayari Imajinasi dengan Sampan Zulaiha 􀂄 Muhammad Anhar

MEMBICARAKAN cerita pendek
(cerpen) khususnya di ranah
Sumatera Utara (Sumut), rasanya
hambar jika tidak mengapungkan
nama Hasan Al Banna, sastrawan
muda yang dikenal khalayak lewat
cerpen-cerpen yang diramunya.
Memang, cukup lama digaungkan
banyak orang, kapan Hasan Al
Banna menelurkan bukunya sendiri
– selama ini berbentuk antologi.
Maka, tidak berlebihan jika
diujar, buku kumpulan cerpen-nya
Sampan Zulaiha, selain sebagai
rekam jejak beliau juga penandas
dahaga tanya para pembaca yang
kerap menggedornya.
Melihat sepak terjangnya menulis
sastra, Hasan Al Banna patut
menjadi salah satu “sumber mata
air” bagi sastrawan muda untuk
belajar berproses dan menimba
pengetahuan.
Dalam Sampan Zulaiha, disaji 14
cerita pendek yang sarat akan
lokalitas. Hampir semuanya telah
dimuat di media, baik lokal maupun
nasional, cetak maupun online.
Setiap cerita menyajikan suspense
tersendiri.
Pemikiran pengarang tertuang
apik lewat cerita-cerita yang kontras
dengan sudut pandang awam.
Kerap, saat membaca, ditemukan
sisi ”relatif ” dari sebuah pemahaman
kata ”baik” dan ”buruk.” Tentu
tidak menggurui dan ini laiknya
gula yang larut dalam seduhan air
teh. Terasa tapi tak terlihat kasat
mata.
Cerita dalam buku ini dimulai
dari kisah “Rumah Amangboru.”
Penulis merekam dan masuk ke
ranah psikologis seorang Haji
Sudung. Potret hidup modernis
yang kerap menenggelamkan sisi
humanis dan ketimuran terikat
kuat dalam cerita ini.
Di lembar lain, muncul “Pasar
Jongjong.” Sebuah cerita menggelitik
ego perkotaan. Betapa tidak?
Kesederhanaan nyatanya lebih
layak ditegakkan melebihi konsep
urbanis yang mau tak mau akan
mengantarkan pola hidup manusia
bermuara pada konsep individualis.
Dalam kisah ini, pengarang
mengaduk-aduk perasaan pembaca.
Bisa saja akan menerbitkan
air mata usai membaca kisah ini.
Haru, cemas, marah, sedih, membaur
di hati pembaca.
Berikutnya, ada “Sampan Zuleha”
yang dijadikan judul kumpulan
cerpen ini. Sebuah cerita miris.
Gambaran getir dan realis kehidupan
masyarakat marginal, masih
ada sisa penjajahan, yakni pembedaan
gender.
Zulaiha, sosok anak gadis cacat
fisik – tapi tidak secara psikis,
setidaknya ini yang digambarkan
pengarang – dari seorang nelayan
tua. Impiannya sederhana, hanyalah
bisa melaut. Ah, betapa sulit
menunaikan niat hatinya. Meski
berakhir tragis, toh pengarang tak
lupa menyisipkan pesan moral di
tiap lembar ceritanya.
Cerecau “Ompu Gabe” hadir di
halaman lain. Seperti judulnya,
cerita ini berkisah tentang ocehan
seorang lelaki tua. Menarik! Pengarang
mengangkat setting dan properti
Batak Simalungun. Lihatlah,
ujar yang begitu ramah di telinga,
becak siantar – yang BSA itu, lapo
tuak – yang memang banyak terpajang
di semerata pinggir jalan, juga
opera batak yang kian jarang dipertunjukkan,
semua terselip dengan
rapi. Kerinduan yang diusung
Ompu Gabe pada seseorang nyatanya
berakhir pada pengharapan
yang kandas.
Selain cerita-cerita di atas, masih
ada sekerumun cerita lainnya,
semisal: “Hanya Angin yang Terpahat
di Rahang Pintu,” “15 Hari
Bulan,” “Gokma,” “Parompa Sadun,”
Ijazah,” “Rabiah,” “Kurik,”
“Pertikaian Siasat,” dan “Horja.”
Kesemua cerita mengalirkan
beragam alur dan kenikmatan
tersendiri, diolah dengan ramuan
kata yang kerap meletikkan imajinasi
pembacanya. Membaca seluruh
cerita dalam buku ini, pikiran
seolah terkayuh menaiki sampan,
berkecipak membelah sungai imajinasi
yang teramu oleh diksi yang
memukau.
Menandaskan buku ini juga
mengajak pembaca sadar atau
tidak untuk menambah perbendaharaan
kata lantas bermuara pada
keinginan membuka dan lebih
akrab lagi dengan Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan menemukan
kata-kata yang jarang direguk mata
sebagian kita.
Melihat sekilas ilustrasi sampul
Sampan Zuleha, ada aroma
romantis mengembang. Hasil dari
tatanan koral, kerang dan pasir
pantai begitu manis untuk jadi
sebuah judul buku – sekilas terlihat
feminim.
Nah, ini jadi masalah. Jika ditelusur
ke karya yang dimuat di dalamnya,
praktis kurang ada pertautan
antara keseluruhan cerita
dengan tema sampul. Satu hal lagi,
buku ini tidak masuk ke toko buku
terkemuka di Indonesia, semacam
Gramedia. Terlepas dari itu, secara
konten, buku ini merupakan satu
dari beberapa sejarah khasanah
sastra Indonesia.
Selamat melayarkan imajinasi
Anda. 􀁺

Minggu, 07 Agustus 2011

Tiga Mitos Tentang Timbulnya Jerawat dan Kebenarannya By Ayu Kinanti Monday August 1, 2011 12:41 pm WIT

Mitos-mitos di dunia kecantikan banyak berkembang di masyarakat. Namun tak sedikit pula mitos yang tidak terbukti kebenarannya. Berikut tiga mitos mengenai timbulnya jerawat serta kebenarannya.



Dikutip dari Genius Beauty, kebenaran ketiga mitos diungkap. Berikut penjelasannya.

"Jerawat timbul karena kulit kotor" -> Fakta.
Kotoran yang dibiarkan menempel di pori-pori kulit memang terbukti dapat menimbulkan masalah kulit termasuk jerawat. Oleh karena itu, biasakanlah mencuci muka dengan sabun yang sesuai jenis kulit dua kali sehari.

"Makanan berlemak timbulkan jerawat" -> Mitos.
Seringkali kita menghindari makanan berlemak dengan alasan takut berjerawat. Padahal belum ada penelitian yang membuktikan hal itu. Jika dilihat secara kasat mata, orang yang mengalami obesitas (memiliki massa lemak yang banyak di tubuhnya) tak kemudian memiliki jerawat lebih banyak daripada mereka yang memiliki berat badan normal. Oleh karena itu dapat disimpulkan, makanan berlemak tak secara langsung memengaruhi timbulnya jerawat di tubuh.

"Sinar Ultraviolet (UV) dapat menghilangkan jerawat" -> Mitos.
Sinar UV dapat membuat jerawat di kulit mengering dengan cepat, namun tak menghilangkannya. Saat kelembapan alami kulit kembali, maka jerawat itu akan kembali terlihat dan meradang. Selain itu, jika kulit terkena sinar UV berlebihan, justru masalah lain akan timbul, misalnya flek hitam dan penuaan dini pada kulit.

Iblis dan Pesta Dansa

berperahu dansa sampai cumbu pada peluru di zirah bahu
alarm berdenyut

mengingatkan akan gaung lelembut keharibaan pesan sang malaikat kecil
di lembah musykil
terjagalah…. itu iblis
itu iblis
mengendus ke belantika perempuan yang kau cinta dengan cara yang salah
dengan cara yang terlalu lumrah

segala tarian
yang menukar biji retina dengan cahaya samar, cahaya pudar
hanya punah fatamorgana


penumbuhsensasi penuaisesal
yang bertaburan di tiap tiang
g a g u r a g u r a b u m u
maka karena telah kau merapal tanda
karena
telah
kau
merapal
tanda
m
a
k
a
t r i s u l (a(da)n)kaulihatsunyata B E R S I A P LaH !!!
iblisusaisudahmengenakantopengtopan dalam s e n y u m a n kelakar nan sarat terbakar
dapatkah kau kerahkan peluru?
ha ha ke-tumpaskan apel iblis rai menyisa tampak zakunku

ayat ayat iftitah 1-3

kubuka jendela langitmu dengan telapak tangan
yang menampung deras hujan airmata sunan
***
kubesarkan iftitah di bawah lipatlipit marwah
sambil tak henti meneroka siluet Muntaha
***
kubuka langitlangit lidahku bersama basahbasah
lelamat dzikir yang meliturgikan altar Alhamaha

Sabtu, 06 Agustus 2011

Prolog dalam Pengantar: KALA RAMADHAN MENYERUPAI PENGAKUAN

Oleh: Muhammad Asqalani eNeSTe

Peraih gelar “Penulis dan Pembaca Puisi Muda Terpuji Riau 2011” disematkan oleh MMG



Untuk apa orang menulis puisi? Untuk apa membukukan puisi? Pengalaman saya pribadi bahwa dari puisi taklah membuat kita kaya (ber-uang), tak juga membuat penulisnya menjadi selebritas mendadak. Lalu untuk apa??? Bagiku “ puisi bukanlah tubuh kita, tapi seluruh tubuh kita adalah puisi “ dalam artian begitu sederhana sekaligus komplek, cobalah lihat tubuh kita sekilas tampak sederhana tapi pada hakikatnya tubuh kita adalah maha karya. Unik dan spesifik.

Ramadhan. Kata klise yang tak asing lagi di pendengaran kita. Tampak sederhana. Ternyata mampu menjadi lautan ispirasi tak bertepi. Setidaknya itulah yang dialami Ichsan Yusuf Ats Tsaqofy dkk dalam buku ini.

Galibnya sebuah antologi para penulis di sini memandang Ramadhan dari berbagai varian. Tentunya hal tersebut berangkat dari apa yang dilihat, didengar, diucapkan atau bahkan dihayalkan pribadi penulis itu sendiri. Serupa memori juga inspirasi.

Seolah sepakat (entah sebuah kebetulan). Penuturan mereka saya rasa menyerupai pengakuan. Ya, pengakuan! Pengakuan atas kerinduan pada ramadhan! Pengakuan atas laku hitam kehidupan atau pangakuan atas kesunyian dari orang-orang tersayang yang terkadang pilu-padan di pendengaran.

Jika saya berkata apa adanya. Sekilas puisi-puisi di sini tampak polos. Jauh dari diksi-diksi tingkat tinggi, tak menyentuh metafora-metafora yang membahana. Kata-kata mereka tampak enteng dan mengalir apa adanya. Mengikuti arah arus hati. Tapi disebalik semua itu tentu ada berbagai kemungkinan yang membuat kita mesti mengapresiasi.”setidaknya” mereka telah berbuat! Dan justru dari kepolosan itu mereka berhasil menelanjangi fitrah manusia, menyangkut hablum minallah dan hablim minannas.kerap kita lupa memanfaatkan ramadhan sebagai meditasi atau perbaikan diri.

“ Ramadhan dan Daun Kenangan” adalah semisal pengabadian kenangan yang tak rela digilas juga ditinggalkan zaman.dapat saya pastikan terhimpunnya puisi-puisi di sini menjadi media reuni mengokohkan kembali taut-taut masa lalu atas carikan kisah yang pernah mereka “telan” semasa di pesantren.

Mereka meyatukan kenangan yang manis juga yang miris tersebut dalam buku yang kemudian dapat dinikmati kala sunyi merambati hati baik itu sunyi raga bahkan sunyi jiwa.

Ichsan Yusuf Ats-Tsaqofy apa yang kamu lakukan ini sungguh memberi makna tersendiri bagi teman-temanmu. Barang kali di mata mereka dapatlah kau dikatakan pahlawan yang tentu TIDAK kesiangan ( hehe…peace! )

Terlepas dari itu saya katakan. “Jadilah diri sendiri!” Jika seseorang bertanya untuk apa menulis pusi? katakan “ Saya punya sejuta harapan yang patut kutuliskan!”.

Dan melewati pengantar minimalis ini dapat saya selipkan harapan yang menguar yang get yang berkobar “Ichsan teruslah bergelayut di dahan kata-kata dan dahan makna!“.

Kawan-kawan teruslah berkarya dan buatlah karya-karya anda labih abadi dari usia yang kelak menasbihkan nama-nama anda untuk di museumkan di hati pembaca.SMOGA!



09-15June2000n11 Kos Cinta Al-Kariem dan Gang Muslimin

Salam tinta! Salam cinta!

purnama di atas sana

: Alvi Puspita






h putih p



i u



t t



a i



m hitam h






purnama di atas sana menjadi munafik



purapura tak punya mata, dan diam



saja dirangkul malam



karena sebuah percakapan tentang hitam-putih



berakhir dengan angguk yang kubang di haluan



sampan



seperti mereka, tak takut meramu candu beracun



begitu juga purnama yang menyerahkan cahayanya



untuk rebah di dada malam yang jalang






huh! lebih baik telanjang daripada berbaju kemunafikan



purnama di atas sana






p hitam h



u i



t t



i a



h putih m



tak mungkin menyatu



dalam satu waktu.






*judul puisi ini adalah judul cerpen Alvi Puspita yang



diterbitkan majalah Budaya Sagang edisi Maret 2011

Senin, 16 Mei 2011

CHANGE YOUR MIND

"masuk telinga kanan, keluar telinga kiri"
57 minutes ago

Create an Ad
Sponsored
Kompas.com
Portal berita terdepan & terpercaya di Indonesia. Klik www.kompas.com
Like · Ganz Pecandukata likes this.
Play Dragons of Atlantis!
Build a great and powerful city, raise an army and train mighty Dragons in the best new MMO on Facebook.
Tur CityVille!
Kunjungi CityVille, tempat tujuan terbaru dari Zynga, pembuat FarmVille. Kota impian Anda menanti. Mainlah sekarang!
Manjo Ayah played this.
Edit
"masuk telinga kanan, keluar telinga kiri"

Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Ungakapan ini mungkin sudah biasa kita dengar.

Biasanya, ditujukan bagi mereka yang susah untuk diberi peringatan.

Namun jika difikir-fikir, sebenarnya ungkapan ini tidak selalu negatif,

Asalkan kita tahu, dan bisa meletakkan diposisi yang tepat,

ungkapan ini akan memberikan efek luar biasa kepada diri kita.



Satu ketika, saya mendengar cerita adik ipar saya.

Ia baru tahun pertama kuliah dan sedang menikmati masa-masa indah ospek.



Bak kata Istri saya tercinta,

"Masa pembinaan (ospek) itu indah untuk dikenang, tidak ingin untuk diulang"



Ipar saya menggerutu tentang seniornya yang galak, berbicara tanpa ada rambu,

sumpah serapah tak tentu arah.



Difikiran saya, inilah saat yang tepat untuk

"Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri"

Andai kita masukkan juga perkataan 'keji' senior tersebut kedalam hati.

Sudahlah badan capek, hatipun tambah dongkol dan letih.



Hidup didunia sosial, sebagai makhluk yang tentunya sosial.

Memaksa kita, mau tidak mau, kita harus berhadapan dengan orang lain.

Terlebih lagi dorongan nafsu untuk bergosip tertanam ditiap individu,

seakan tak ada celah yang tidak bisa dikomentari. Inilah kenyataannya.



Ada kalanya, perkataan orang lain akan menginspirasikan kita.

Namun, perkataan yang menjatuhkan datang lebih banyak.

Terkadang, kemajuan kita terhambat karena ini.

Bahkan, kita sudah dihantui komen negatif, sesaat saja niat untuk bertindak muncul.

Padahal komen-komen itu belum pernah wujud.



Disinilah seharusnya "masuk telinga kanan, keluar telinga kiri" kita diterapkan.



Selama kuliah di Malaysia, saya mempunyai seorang teman yang (menurut saya)

mampu meletakkan "Masuk kiri keluar kanan" tepat pada tempatnya.

Sebut saja namanya Ismail S Wekke atau bang Mail :D



Mungkin bang Mail satu-satunya mahasiswa Indonesia yang bebas sesuka hati menelfon Naib Cancelor (rektor), SMS, keluar masuk ruangannya, berbalas email DLL. Beliau juga aktif keluar negeri, melanglang buana kesana kesini, dan beliau mampu menyelesaikan Program Doktoralnya tepat pada waktunya. Sekarang beliau aktif mengajar di Makasar dan Sorong, dan selalu diundang untuk memberikan seminar di dalam, bahkan luar negeri.



Padahal, saya tahu sekali, ramai yang mencemooh Beliau,tentang gayanya,

kegiatannya, kelayakan disertasinya, dan lain-lain.



Dari sini saya mengambil pelajaran,

menerapkan "Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri" dengan bijak,

akan memberikan manfaat yang luar biasa,

bagi ketenangan dan juga kesuksesan yang ingin kita raih.





Fazrol Rozi

Rabu, 11 Mei 2011

apresiet

KETIKA PUISI MENJELMA ANAK-ANAK ROHANI
Sekadar Cerita yang Mengantar
Antologi Puisi Keluarga “ suhufsuhuf kenangan “ by Muhammad Asqalani eNeSTe n adik-kakaknya
Oleh ; Eko Putra
(Penyair, facebooker)

PROLOG

Sesungguhnya. Saya tidak tahu, dari mana tulisan ini dapat dimulai. Terkait ketika Moh. Asqalani menghubungi saya untuk memberikan semacam pengantar untuk sebuah kumpulan puisi yang akan diterbitkan olehnya. Dirinya menghubungi saya melalui pesan singkat ke ponsel saya. Setelah saya sedikit merespon pesannya, dan bertanya kumpulan puisi siapa yang ia tawarkan. Dirinya berkata, bahwa kumpulan puisi tersebut adalah bunga rampai seluruh anggota keluarganya sekandung. Yang terdiri dari adik dan kakaknya sendiri. Karena terus terang, saya kadang cukup sibuk. Maka saya membalas pesannya, silakan kirim naskah yang dimaksud melalui alamat surat elektronik saya.

Singkatnya, saya lalu mengunduh draf yang dikirim oleh Asqalani dan menyimpannya ke dalam folder yang ada di laptop saya. Kemudian sebelum tidur. Satu dua tiga malam, saya membuka dokumen tersebut dan mencoba untuk memahaminya satu-persatu. Tetapi, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya terhadap Asqalani. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membuat sebuah telaah yang berangkat atas puisi-puisi yang termaktub di dalam kumpulan puisi ini. Namun, saya hanya ingin bercerita. Yah, sekadar bercerita, dan membiarkan hasil bacaan saya terhadap kumpulan puisi ini menjadi dokumentasi pribadi. Lalu barangkali di suatu waktu, di masa yang akan datang Asqalani dan adik serta kakaknya melakukan sebuah kinerja positif dalam dunia kepenulisannya. Yang terus membuat torehan sejarah tersendiri bagi mereka.

Saya sangat apreriori ketika Asqalani mengatakan bahwa mereka yang tergabung dalam antologi ini adalah orang-orang yang sekandung. Artinya secara geneologis mereka memiliki ikatan vertikal yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka. Sekelompok orang yang berada dalam sebuah keluarga menulis. Itulah faktanya. Hal ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Karena jarang sekali orang-orang yang berada dalam sebuah ikatan keluarga memiliki keinginan yang sama untuk melakukan sesuatu yang memiliki kesamaan. Mereka menggemari puisi. Sebuah jalan yang barangkali tidak begitu diminati oleh kebanyakan orang. Terlebihnya mereka yang menapaki masa remaja. Di dalam diri (soul) mereka muncul sebuah bibit langka. Yang dari setiap generasi, baik secara demografi, dekade, dan budaya, yang kadangkala dapat dihitung dengan jari kemunculannya.
***

KETIKA ROHANI GELISAH

Seperti yang telah saya ungkapkan pada bagian Prolog tulisan ini. Saya hanya ingin bercerita. Cerita ini, terus terang semua berangkat dari apa yang pernah saya alami. Yang bagi saya, kaitan atas kehadiran antologi ini merupakan salah satu peristiwa bersejarah bagi Asqalani dan adikkakaknya.

Saya sekarang berada di sebuah ruang dan perjalanan waktu. Ketika dulu, beberapa tahun lalu saya mulai terjangkiti sebuah virus yang mengakibatkan seluruh sistem kerja dalam diri saya tercemar olehnya. Virus tersebut benama puisi. Ia tiba-tiba hadir, tanpa pernah kompromi sebelumnya, berkaitan dengan aktivitas keseharian saya yang saat itu adalah seorang pelajar dan remaja polos. Ia membuat saya kesurupan. Lahir sebuah kegelisahan yang tidak menentu. Merangsek pola pemikiran yang konvensional bagi orang lain, yang terkadang cukup ekstrim. Tidak jarang pula, saya menjadi bahan guyonan bagi teman-teman. Tapi, saya sama sekali tidak mempedulikan apapun yang dibicarakan oleh orang lain ketika itu. Yang ada di benak saya adalah bergerak. Masa bodoh dengan hasil yang didapat. Saya yakin, itu terjadi pula pada Asqalani dan adikkakaknya. Virus puisi telah beranak pinak di seluruh lapis saraf, tulang, sendi, kelenjar, rasa, jiwa, dan nurani,….begitulah seterusnya.

Ada getaran-getaran aneh yang sesungguhnya terpendam di dalam diri (soul) mereka yang minta untuk dihadirkan. Ia berupa kata-kata, berupa gumam, berupa bunyi, berupa ketidaksadaran yang paling murni. Ia membawa banyak persoalan dari sesuatu yang sederhana, sampai hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh kadar kemanusiaan sekalipun dan atau sebaliknya. Hal seperti ini yang kemudian menjadi sebuah narasi panjang bagi pemilik sistemnya, yakni sang penyair.

Ketekunan penyair untuk terus melakukan kerja terhadap puisi akan menjadikan puisi secara utuh sebagai bagian dari hidupnya. Bagi saya itu merupakan pilihan, terlepas di tengah perjalanan kerja puisi yang dilakukan oleh seorang penyair. Apakah di tengah jalan tersebut banyak kendala. Karena banyak sekali yang menggoda dan penggoda yang begitu professional dalam ihwal goda-menggoda ini.

"Perjalanan puisi itu seperti seseorang menuju sebuah puncak bukit," ujar Wayan Sunarta, penyair dari Bali. Di tengah perjalanan ia akan menemukan banyak hal. Ada bunga-bunga indah yang mungkin menipu penglihatan, juga wanginya yang masuk ke penciuman. Ada suara gemirisik air dari kejauhan. Ada batu-batu licin yang siap membuat kita jatuh ke lembah jikalau lengah. Kadang ada desis kobra yang mengintai dari semak-semak. Adapula buah-buah segar yang membuatnya semakin dahaga dan lapar. Atau barangkali terkaman harimau sumatera yang dengan seketika membuat kalangkabut. Tapi setiap godaan, halangan, dan tantangan tersebut, tentu tidak sulit untuk dilewati. Karena Asqalani bergerak bersama seluruh keluarganya.

Saya percaya, mereka akan saling mengingatkan, saling menyelamatkan, saling menguatkan satu sama lain, saling menyokong, yang dapat membuat mereka sama-sama menapaki puncak bukit tersebut. Yang dengan leluasa bagi mereka dapat melihat segala yang terbentang. Namun, bagi seorang penyair sejati ia tidak akan pernah puisi ketika telah berada dipuncak. Sebab, ada yang belum ia capai seluruhnya. Di atas kepala sendiri, masih ada rahasia yang tidak akan tersentuh olehnya. Ia akan terus dihantui gelisah yang membuatnya untuk terus melakukan pendakian demi pendakian. Bahkan di puncak itulah ia dapat melihat dengan jelas apa-apa yang ada di kaki bukit, yang mestinya ia harus merabas jalan pulang, memperbaiki tanjakan, dan menjadi sahabat bagi hal-hal yang terhimpun di sekelilinggnya.

EPILOG

Di tengah kehadiran puisi yang begitu banyak saat ini, setidaknya itu yang saya amati. Apalagi media massa yang beragam, baik secara cetak maupun digital. Terutama pada era ini fitur-fitur media jaringan sosial yang berkembang menyediakan sarana untuk mempublikasikan sebuah tulisan apapun jenisnya, termasuk puisi. Saya menaruh banyak harapan bagi Asqalani dan adikkakaknya, dan mengutip larik puisi yang ditulis oleh Asqalani, dan kita mulai persemedian/ satu demi satu/ kau menyelam, //aku tenggelam/ semakin dalam//(adakah kunci hatiku jatuh ke globe hatimu?). Harapan yang saya taruh ini, bersifat sebuah ajakan untuk terus bergerak. Karena faktanya, usia Asqalani sendiri sedikit lebih tua dari saya sendiri. Selain masih ada kakaknya, yang barangkali pula usia adiknya masih sebaya dengan saya. Hal ini awalnya menjadi sebuah pertanyaan bagi saya. Mengapa Asqalani menghubungi saya, karena cukup realistis masih banyak mereka yang telah mumpuni dengan kematangannya untuk dimintanya sebuah partisipasi. Dengan rendah hati, saya mengatakan bahwa ini sebuah kehormatan tersendiri bagi saya.

Sejatinya pula, puisi tidak dapat menjanjikan materi yang membuat penyairnya untuk mengalami berkecukupan. Tetapi bagi saya, puisi merupakan obligasi jiwa yang mampu membuat penyairnya untuk menaklukkan hal-hal di sekelilingnya. Karena saya yakin, sugesti yang diberikan puisi. Merupakan mata rantai yang memberikan banyak kesempatan atas segala kebijaksanaan yang dihadirkan oleh setiap persoalan hidup. Puisi memang bersifat fiksi, tapi tidak berangkat dari khayalan semata.

Semoga cahaya selalu menyalakan jiwa kita.
***
Eko Putra, Kampung Keramat, akhir April 2011.

take an article

How I found my passion
In a series of posts, called readers choice, I write on whatever topics people submit and vote for. If you dig this idea, let me know if the comments, and submit your ideas and votes.
Travis submitted the following question, and with 30 votes it’s this week’s topic:
What specific, objective things can you do to find your “passion”? Assuming it’s possible to make a career out of pursuing your passion(s), how do you narrow that down to one or a few things?
This is a great, but strange question. I don’t think there is a way to do this. If there is I don’t know it. Most people seem passionless about their work, much less their lives, don’t you think?
Looking backwards I see I tried different things. Over the course of my life I’ve tried to spend more time doing things I liked. The magical part is twice I’ve managed to find ways making a living doing something I’m passionate about (first with software, now with writing).
My first deep love was baseball. But by age 10 I discovered basketball, and loved that more (much less standing around waiting). It was the defining passion of my life until I was 19. Why basketball? I was athletic, I was competitive, I was better than my friends, and I discovered for the first time that hard work paid off – basketball provided an endless (at the time) path of improvement if I worked hard. But had my brother never made me play basketball at age 8, I never would have discovered this thing I love(d).
I started writing in junior year in high school. We had a poetry month in English class and I wrote poetry. Turned out I loved writing it – some of it didn’t suck. And I kept writing it on my own, after the class ended. Freshman year in college we had to keep a journal for a Philosophy course, so I did that, and by the end of the course I enjoyed it enough I’ve kept it up since. These two experiences were pivotal in me becoming a writer. Had I not been exposed twice, I probably would not be writing this right now.
My story with software is simpler. I was smart. My dad got us a computer when I was 12 or 13. I liked it and it made sense to me so when not playing basketball, I was on it hours every day. I majored in Computer Science because I found it interesting and it made sense. I liked designing things, and got very lucky – I got hired at Microsoft to lead teams and design stuff. Managed to get on the IE 1.0 team, which turned out to be kind of important. I was passionate about it because it was fascinating, I was young and had power, it was thrilling to feel smart with other smart people, and I convinced myself it mattered to the world. But after a decade those passions changed, or changed shape, so I left.
I’ve never believed in the idea of a calling. I really hate that idea. Most people can be good at many different things, and live happy lives in many different ways. If you want to find your passion I’d say put yourself in different situations, with different people, and see how it makes you feel. Pay attention to you and write down your responses so you’ll remember. Some of it will bore you. Some of it you’ll hate. But with each experience you’ll have a clearer sense of who you actually are ,what you actually care about, and what you’re good at doing.
There are at least four piles of things in the world for you:
• Things you like/love
• Things you are good at
• Things you can be paid to do
• Things that are important
But only you can sort out which things go in which piles, or hopefully, all four piles.
I think growing up we’re fed so many stories about what we’re supposed to like, or enjoy, or find pleasure in, and only some of that turns out to be true. It’s implied you need a great career to be happy, but honestly most people seem pretty damn miserable, including those with fancy careers. You can’t be passionate if you’re living your parents dream and not your own, and unless you go out on your own for awhile, you are likely trying to live someone else’s dream.
My advice is simple: Pick something. Do it with all your heart. If you can’t keep your heart in it, do something else. Repeat. Few people have the courage to do this, even for a year, much less a lifetime. But my suspicion is if you ask passionate people how they make choices, this is what you’ll hear.

Selasa, 10 Mei 2011

sabili

sembahyang

tegakku,
berderak

rukukku,
terpuruk

i’tidalku,
terjungkal

sujudku,
tersangkut

salamku,
tenggelam

Rabb, ajari aku sembahyang seluruh tubuh
sedari awal

sebuah cerpen

KAMARKU BERANTAKAN

Apa yang kamu rasakan saat menemukan kepengapan, udara tak segar dan aroma keamisan? Begitulah barangkali cuplikan kamar hantu. Kamarku.
oleh Muhammad Asqalani eNeSTe

Entah ini penyakit, entah ketutrunan, entah kebiasaan. Entahlah. Yang jelas sejak aku resmi hidup sendiri, ngekos, aku berkecimpung tidur ria setiap malam di lesehan kamar berantakan.
Entah kenapa aku suka melihat benda-benda bergelimpangan urak-urakan. Buku terbuka, tas menganga, kain menumpuk, kaleng parfum melantai, piring kotor berjejal, kerdus berjumpalitan, air besepai, tentu saja kerumunan debu-debu beterbangan. Aku suka semua ini. Bagiku mereka artefak, tanda gemericik sungai seni mengalir dalam darahku. Benarkah ini seni? Setidaknya begitulah refleksi kacamataku.
“Apaan sih kamu Sen, di luar gaya kamu sok gaul, di dalam alamakjang, gelandangan….” Ceramah temanku Gion yang bercita-cita jadi dokter. Penampilannya selalu CLING, bersih bening seperti tanpa kaca.
“Sudah deh ion, kamu tuh gak ngerti seni, aku jelasin pun bakal percuma,” ucapku membela. Ya, inilah gaya hidupku. Aku suka gayaku.
“Kamu emang paling pandel dikasih tahu, keras kepala. Kalau sakit siapa yang rugi?” Gion sok penertian.
“Yang rugi aku, ngapa kamu rese…urus tuh tipusmu! BeTe aku….” Cecarku pedas. Dia ter pojok. Tersinggung, dadanya naik turun. Apa peduliku?

***
“Assalamu ‘alaikum!” suara salam bergema tiga kali, bersamaan suara pintu yang diketuk.
“Masuk! Gak dikunci….” Sahutku sembari memperdalam surukan ke dalam selimut kumal, kalau tak salah lebih sebulan selimut itu tak menyentuh air.
“Astaga Sen, jam sepuluh gini kamu masih kemuk-kemuk di kasur? Keterlaluan!” ujar kakak kandungkua, Tina. Tak habis pikir lihat kemalasanku.
“siapa suruh kakak datang pagi-pagi dari kampung? Hujan gini enaknnya tidur, tahu!” aku sebel, masih dalam ceruk selimut.
Dengan emosi kak Tina paksa selimutku., dengan susah payah dia berhasil juga. Selimut kumal itu kak Tina lemparkan ke tanah depah teras yang tampak becek diguyur hujan semalaman.
“ nih, rasain….biar kamu ngerti makna mencuci adalah kebersihan, supaya kamu paham bahwa kita harus kejam terhadap kemalasan” kak Tina tampak gusar, gayanya menasihati. Dia benar.
“sekejam ini, iya?....KELUARRR….KELUARRR…” usirku

***

Pada jam istirahat aku langsung menarik tangan Gion.
“Ayo, main ke kosku! Jadi orang kok susah amat sih?” paksaku. mulut dimonyongkan.
“Iya…, lepasin dong ah!’ Gion manut
Sekitar dua menit kami sampai di kosanku yang teramat luas. Kamar-kamar berjejer menyerupaiasrama. Ya, dulu ini memang asrama, tapi tak tentu pasal di sulaplah jadi kos-kosan. Aku terdata sebagai salah seorang penghuninya.
“Ini kos-kosan atau kios pasar loak?” tanya Gion nyantai. Tanpa beban.
“kandang kambing!” jawabku, kami paduan tertawa.
Ketika kubuka pintu terkuaklah nasi basi, tempe belatungan, piring kotor berangkringan, dari lemari yang terbuka kecoa berhamburan, tentu juga kepungan debu-debu.
“Wuekkk….aku gak tahan, nih kamar mirip kamar hantu. Bau bangkai. Wuekkk….” Supah Gion muntah, banyak banget. Gion berlari ke arah motornya, kemudian tancap gas.
“Heh, sok bersih deh loe, kosan loe juga sarang ular, sarang tawon, sarang hantu,sarang….Halah, sok kaya deh loe. Emang rumah loe istana? Selokan kaleee!”

***

“ Sen, baju kamu kenapa? “ Tanya bu Tuti.
“Kenapa? Keren ya, bu?” aku berlagak.
“Pliss deh youw! Kamu memang keren. Tapi kenapa baju kamu karatan? Berdaki, m-mirip….” Bu Tuti tak melanjutkan.
“Mirip gelandangan kuadrat,bu! Ibu tahu tak siapa nama asli Sen? “SENDAWA PINGIT DARI LOBANG SAMPAH, hahaha…..” semua tertawa, tampak bu Tuti berurai airmata sambil memegang perutnya yang tampak bergetar. Katro dan Ndeso sampai terkencing-kencing.
“DIAAAMM….”

***

Aduh gawaaa…..t! teman-teman bersama Bu Tuti dari SMPN 5 PINGGIRAN berbondong-bondong datang ke kosku. Habislah terbongkar setiap rinci kejorokanku. Kamarku berantakan, seperti kamar hantu; berbau, pengap dan mengerikan. Kecoa-kecoa menghiasi dinding. Oh ya, masalah kenapa teman-temanku datang ke kosku mendadak seperti orang razia, karena aku sudah tiga hari tergeletak lemah. Sakit parah. Hampir mati malah.
Mereka buru-buru membawaku ke Puskesmas yang ada di desa sebelah ”KAMPOENG KOLOT”, begitu namanya.
Ketika aku sudah terhempas ke matras pasien, teman-teman mengelilingiku; ada Gion, Sutini, Paijo, Painem, Katro, Ndeso, dll.. masing-masing mereka membawa buah, ada pisang batu, jambu monyet, rambutan hutan, kelubi asam, juga motton ( nama buah dihutan yang bulat kira-kira sebesar merica; buah ini biasa kami panjat di belakang rumah Paijo ).

”Minggir anak-anak, saatnya kita periksa teman kalian yang malang ini,” kata perawat tua, Pak Getol.
” Puuu....t” tiba-tiba sesuatu berbunyi persis dari knalpot tubuh Pak Getol.
”hhhh....bau!” anak-anak serempak menutup hidung, Bu Tuti megap-megap.
Dengan wajah merah mananggung malu, dengan suara gemetaran Pak Getol bertanya.
”Penyakitmu parah dah mau mati gini, apa penyebabnya?”
”a-a-anu pak, k-k-kamarku berantakan!” jawabku dengan wajah merah juga menanggung malu. Semua kening tampak berkerut seribu.
”????....”

****

Minggu, 08 Mei 2011

kompaskan puisi

di jiwa

dengan sekuat daya
tarik menarik jiwa dan raga
pertengkaran pelita dan gelita
betapa runyam
gelombang dada timbul-tenggelam


salju nadi

yang mengorbit lintasan nadi
matahari menghilang tak kembali
musim dingin
sungguh dingin
diam berkeping menyerupai dasar hening

Minggu, 24 April 2011

HELLO KAUM MUSLIM ABAD 21 HIDUP YANG SINGKAT INI UNTUK APAAA?
Asslm. Salam ummat terbaik hidup berkah! Alhamdulillah aku bersyukur padaMu ya, Allah!
Hari ini 24 april 2011 telah ku bermimpi sbb:
1. Jika reskiku berkecukupan akan ku naik hajikan ibunda tercinta, diriku n keluarga terkasih
2. Menjadi pengemban dakwah yang konsisten
3. Pengahafal dan pencinta al-qur’an al-kariim1
4. Motivaor kenamaan dunia
5. Penulis buku best seller islami
6. Perai nobel sbg manusia terbanyak senyum sedunia
7. Jadi bintang cemerlang bagi dri dan semesta
Ya. Allah telah kuikrarkan mimpimimpiku. Apakah ini sebatas mimpi? Perkenankan aku memeluknya ya Allah denagn kekeuatan focus 100%. Amin!

Kamis, 21 April 2011

blabla

SEKADAR KESAH!

Saat itu aku merasa hidup begitu purapura….modifikasi yang absurb! Bagaimana tidah aku dia harus mengenakan topeng yang kuberikan, hanya karena kami ingin mencari seruseruan. Seruseruan seperti apa? Entahlah. Saat itu juaga kami terpingkalpingkal seperti menyembunyikan sesal. Aku katakana ” begitukah sandiwarayang benar?” entahlah! Hidup penuh keraguraguan. Meski kadang keyakinan itu datang sesekali. Huh!
….
Pernah saya dengar teman berkata begini “ dari pada tulisanmu menjejal status fb, baikan buat di blog za!”. Oh ya? Meski aku ragu kala itu….aku tetap membalasnya dengan senyum close up terup to dateku lho. “dia ada benarnya” begitulah amsal penafsiranku.
….
Terlalu banyak sesal nanti malah terjungkal! Lakukan segala kewajiban…tunaikan segala janji pada diri n luar diri! Itu saja cukup!
***

sajak

KERUDUNG WAKTU
: Siti Rahmah

Kau kerudungkan waktu , menutupi dada
Tarikan demi tarikan usia cungkupi tanda

Kau kerudungkan waktu, menutupi dada
Menyaput sekat, mengungkung pandang
Menadah nafsah, retina cawan arrahman

Pernah kau bilang, waktu akan kerudungkan
Dadamu perlahan, tapi tak perlu kuwebkan
Ruah kullah airmata tumpah, kuyu menguak
Setetas hidayah

Perlu kuceritakan, kerudung waktu itu
Juga melekat di keningku. Dalam sujudku
Pada rubaiyat tahiyat, airmata maujudku

puisi ini meraih juara pertama dalam memperingati hari kartini pd tgl 21 april '11 yang ditaja ukmi al-kahfi uir

Senin, 18 April 2011

puisi keren

ciuman untukMu

/1/
kita berciuman sebelum wudhu’ kekeringan
/2/
kukecup keningMu di dada sejadah
/3/
keriangan airmataMu kuteguk rindu
/4/
kupinjam bibirMu untuk mengecup do’a

Sabtu, 16 April 2011

ada saatnya berkata begini...

KATAKAN SAJA KATAMU

Selain menulis puisi aku juga bisa menulis yang lain. Apa itu? Apa pun. Yang penting bermanfaat! karena yang kutahu hidupku tak laik jika berlalu ditemani puisi yang sunyi. Membosankan! Membunuh kreatifitasku! Masih kukenang katakata mas Pringandi Adbi Surya ; menulis apa saja. Sederhana bukan?
_
Seperti saat ini aku menulis apa pun. Bukan cerpen atau saudarasaudaranya. Hanya katakata yang tumpah ruah begitu saja. Semisal menegur jiwa yang jumud….bahwa menulis memberikan arti. Tapi menulis bukan puisi. Menulislah apa saja. Yang penting manfaat. Ya manfaat! Yang membuat kita dan siapa saja merasa kala membacanya.
_
Kini! di sini! aku menulis, menulis dan menulis! Barangkali sampai mati. Tapi tidak puisi! Tapi tidak puisi! Tapi eksistensi!
_

nasihat sejiwa

MECARI EKSISTENSI

Mencari eksistensi sulitkah?
Sepertinya tidak. Tapi cobalah dongak pancaroba yang kau lakukan…harihari tak laik dikata diari…karena tak ada lagi kertas putih di hadapmu. Semua hitam oleh ulahmu! Berkalikali kukatakan janjimu telah lama kau tinggalkan! Kau telah menjamah topengtopeng haram itu. Wajahmu duhai imitasi! Tak malukah? Pada tuhan uyang diamdiam menyaksikan segala duka yang kau kandung, segala duka yang kautanggung, segala duka yang membuatmu bingung.siapa dirimu? Siapa dirimu? Betapa asing. Betapa terasing. Wajahwajah cahaya telah kau wudhu’kan dengan debu.
***
Harihari berlalu seperti fragmen siasia. Waktu terus berlari, terbang meninggalkanmu. Begitu jauh. Namun kau seolah tak sadar atau purapura pingsan?
***
Hari ini kau lihat matahari masih mengejapkan bola retinanya… menyapu punggungmu yang selalu berharap kehangatan. Namun esok dapatkah kau pastikan semuanya akan baikbaik saja.seperti hari ini? Kau begitu terbelenggu oleh kesalahan yang kau buat dengan sadar. Dengan sadar. Sesadarsadanya!

Jumat, 11 Maret 2011

cerpen absurd tentang mimpi gentayang di Metro Riau

DAN ZADRA*

Dan Zadra akan menerbangkan mimpiku hingga ribuan mil dengan farmasi sempurna

Oleh : Muhammad asqalani eNeSTe

“ (semua harapan dan cita-cita adalah absah, semua mencoba membawamu terbang, melampaui awan, mengatasi badai. Itu kalau kamu membebaskannya) ah, anakku ! betapa bijak kata-katamu itu hingga dalam kondisi selemah ini ibu masih berani bermimpi. Membawamu terbang hingga ke relung-relung taman nirwana, memetik bunga kenanga berwarna jingga, meniti warna pelangi yang ke delapan, kamu tahu warna apa Danku? Itulah putih. Putih yang ibu coba sarangkan di hati” aku tersenyum. Senyuman paling menawan.
“ Kalau saja ayahmu adalah kuda semberani yang bijaksana dan gagah, kalau saja ayahmu adalah matahari yang mampu menekuk bulan, kalau saja…, hhh! Tapi ayahmu adalah bajingan. Pengecut piaraan. Lelaki mati fungsi.” Kembali aku tersenyum.sinis.
“ Labbaika! Ini aku Layton. Suamimu. Ayah Dan! “ Layton merengkuh tubuhku. Keningku dia kecup beberapa kali.
“ Labbaika, bangunlah! Lihat Dan Zadra, pangeran kecil kita yang tampan. Setampan ayahnya. Sewangi ibunya,” bibir Layton menyentuh lembut telinga kiriku. Sebuah gaung terbantun-bantun. Penuh getar.
“ Layton, lepaskan aku! Lepaskan!. “
“ Tidak Labbaika. Tak akan aku melepasmu, ” Layton kian mempererat rengkuhannya.
1-2 dan beberapa air sejuk terjun membasahi rambut ubun-ubunku. Tanpa mendongak ke atas pun aku yakin Layton menangis deras. Tangisan seorang ibu dalam tubuh seorang ayah. Dan aku harus menangis lebih deras. Lebih keras.
“Aaaa….”

***

“ Labbaika, kamu harus menjadi mutiara, yang terus terpajang di kaki-kaki kehidupan. Kamu harus mengumpulkan super power untuk menghancurkan mendung yang bergelayut di hatimu. juga kabut di iris matamu. Demi Layton. Demi Dan. Kamu pasti bisa Labbaika! “
Kata-kata Layton seperti sihir yang mampu menyadarkan aku, bahwa beberapa jam yang lalu aku sudah disini. Di depan cermin.
“ Layton lelaki tengik! Belum puaskah kau mengacak kecantikanku? Belum puskah kau melantakkan bingkai bibirku? Belum puaskah kau mematahkan kekuatan jemariku? Atau kau ingin lagi merebut satu dari tujh alis kebanggaanku? KatakanLaytoooon!”
Aku meracau balau, lalu hening. Kemudian….
“ Dan, tunggu ibu nak, ibu tinggal mengenakan gaun putih sewarna ilalang. Beberapa detik menjahit sayap Ikarusku yang masih rumpang. Dan kita akan kembali ke relung-relung taman nirwana. Menetap disana. Hanya kita berdua. Tanpa ayahmu sang luar binasa, Layton! Hahaha….! “
“ audzubillahi minassyaithonirrojiim…, Labbaika! “ suara Layton bergetar dan membahana.
Cermin yang kupegang jatuh. Pecah. Tubuhku dingin bersamaan lamat - lamat angin yang keluar dari tubuhku. Aku lemah. Layton terburu nafas mendekapku.

***

“ Dan, kita akan terbang nak! Sesudah ibu memetik melati tidur tujuh hari. Untuk kita tabur sebagai pewangi. Bersama angin aroma kita akan bercerita pada ayahmu, bahwa kita hampir mendekati taman nirwana “ Aku seolah membelai Dan. Semu.
Aku merasakan panas mendadak. Aku terbelalak dan bangkit serentak.
“ Layton, dimana Dan? Dimana Dan? Kenapa tiba-tiba aku di kamar kematian ini. Aku masih ingin bermain ria bersama Dan di relung-relung taman nirwana “ aku tercubit oleh kenyataan.
“ Astagfirullahal adziim…, Labbaika! Sesuatu yang telah pergi tak mungkin kembali. Berhentilah menangisi! ikhlashkanlah takdir ini ! “
Detik kemudian hanya diam. Turunnya malam kali ini terasa mencekam. Angin kian bersileweran berantakan. Lampu rumah sakit mendadak padam.

***

Layton menggenggam tanah kuning. Air mata beningnya beradu deras dengan hujan yang runtuh. Kepedihannya sedikit terbasuh. Surat yasinnya jatuh bergumang tanah, ia membiarkannya. Pikirannya tertumpuk pada awal mengenalku. Menikahiku. Hingga 5 tahun kemudian rahimku tak juga mengandung sang jabang. Hingga obsesiku tuk mendambakan pengeran kecil bernama Dan mengantarkan otakku diatas normal. Layton tetap setia meluahkan kasihnya hinnga aku benar-benar tiada
Seorang laki-laki setia mengiring doa dari dalam jiwanya. Bergegas mengemas cacatan luka. meninggalkan senja yang telah tiada. Matanya menatap cahaya di kejauhan.

***

Agustus-November 2010
Paringgonan-Pekanbaru
Dari sebuah efek Baca

*Cerpen ini saya dedikasikan bagi
orang-orang yang tak takut bermimpi

Kamis, 10 Maret 2011

Sepasang Puisi AlarM ; Kematian ( anaianai pernah diterbitkan Batam Pos satu waktu )

semusim

suara ababil memanggil
lambung batu dada kerikil

dingin….
tak hafal jadwal izrail


Anaianai
: Pembangkang sejati

bungkusan putih jatuh ke tubuhku
suara tandu
seru menyeru
aku,
ke dalam itu

anaianai mengawiniku, aku mengandung bangkai
keliang….
belatung belulangku

Sang Cerpen yang telat Muncul

sebuah cerpen

Yoanfa18
Untuk keluargaku yang memutuskan menulis sebagai warna jalan hidup
Oleh: Muhammad Asqlani eNeSTE


Ha, yoanfa? Siapa dia? Apakah dia mempunyai 18 raga?. Tidak kawan,Yoanfa18 adalah alamat email kak Yohana;kakak,sahabat bahkan guruku,dia baik lho,yakin?liat aja ne dibawah tertera storynya.
Yoanfa18 aku dapatkan dari penulis amatir si ucok: Abdul Hamid Nasution,then nama itu melesat ke HaPeku,maka mengenalkanku pada keramahan yang mendayu.Yoanfa 18, jangan remehkan dia,meski harganya tak semahal dunia tapi bagiku harganya melebihi permata.ah masa bisa segitchuna? ya bisa kenapa tidak,bukankah dunia sekarang dunia serba bisa? Alasannya? Karena dialah satu-satunya manusia di dunia yang menerbitkan cerpen perdanaku di media massa. “ Yoanfa18 “ cerpen aneh namun mampu membuat ngeh buktinya anda sang “ selebriti ” buku sedang membacanya bukan?
Kak Yoanfa18,maafkan aku ya! Jika aku menjadi adik dan sahabat menjengkelkan. Kini aku bukan siapa-siapa,orang-orang tak ada yang peduli aku sedang dimana,dunia juga menertawakan aku,laiknya teman-teman menertawakan aku demi meyaksikan sang manusia aneh yang heboh menghabiskan waktu jeda untuk menulis puisi dan cerpen,juga membaca berbagai jenis dan judul buku. Aku memang tak seperti mereka yang kerap menertawakan manusia yang mau maju satu langkah mencari permata. Biarlah kak Yoanfa18, aku tak ingin stres karena mereka,dan yang terpenting aku tak mengusik siapa-siapa. Aku yakin dunia otakku dan dunia otak mereka tidaklah sama meski tak 100% beda.
Kak Yoanfa18,aku hanya ingin jadi anak manis,yang bisa bermanfaat bagi sesiapa yang menyisihkan sebagian mata untuk membaca karyaku yang manis. Meski aku hanya
bercerita tentang tangis,tapi bukan berarti aku setiap saat menangis. Bahkan kadang aku terlupa bagaimana cara menangis Sejak 2010 menggangguku,hatiku telah menjadi batu,lupa hakikat tangis serupa nyanyian syahdu.
Kak Yoanfa18,aku ingin menangis meski tangisku tak romantis,tak histeris. Dan aku hanya ingin menangis di depanmu,tapi bukan karenamu. Hanya tersebab dosaku telah berjibaku dihadapan rabb sang Maha Tahu. Lalu kenapa harus di depanmu? Jangan tanyakan aku,karena itu misteri bagiku,bagimu,bagi dunia kelabu.
Kak Yoanfa18,aku telah bosan menulis. Tulisanku disabit penerbit. Tak peduli karya-karyaku menjerit sakit dan lihatlah tulisanku dimana-mana dihiasi kudis. Tiada yang menggubrisnya.huffh haruskah aku. Menyerah. Mati dicium tanah tanpa meninggalkan apa-apa. Biarlah manusia sedunia tertawa,karena aku hanya berhasil seperti yang mereka suka.
“ Tidak! Tidak! Aku harus mengubur mimpi nista mereka,sekarang juga. Kata gagal tidak pernah tersua dalam kamus manusia yang ingin menggenggam dunia,juga menjadi cahaya bagi semesta. Aku cahaya tak boleh redup selama jantung berdegup “.
Cahaya itu ternyata telah tiba. Hari ini minggu ke tiga di april yang tua,kak Yoanfa18 dengan bangga menerbitkan cerpenku yang perdana. Kak Yoanfa18 yakin aku adalah pijar sumbu sastra dunia. Terimakasih kak Yoanfa18. Kepada dunia: “ Selamat Menutup cerita yang digoreskan manusia yang mempunyai mimpi-mimpi yang tak cukup 18 saja untuk menekuk dunia.

***
Jemarilihai11april2000n10
At 12.00s